Friday 22 August 2008

How to crack down on rampant illegal logging

By: Ahmad Maryudi

Published by: The Jakarta Post, 22 Agustus 2008


If you had the chance to see the documentary movie Timber Mafia released by Journeyman Pictures in 2002, you would have some idea of the massive scale of illegal logging in Indonesia.

Although efforts have been made to crack down on illegal logging in Indonesia, it appears the problem is getting worse. It is hard to get accurate data on its magnitude, because there are no accurate records on it.

Estimates indicate that approximately 70 percent of timber sourced from the country is illegally harvested, amounting to a massive 50 million cubic meters. A high-ranking government official said the annual loss from illegal logging accounts for between US$600 and $1,500 million.

This accounts for over 1.5 percent of the country's gross domestic product, as much as the contribution of "legal" forest products to the GDP. This loss is only assessed on the royalty that would have been paid if the timber had been legally harvested. Therefore, the total financial loss is much larger.

What are the underlying causes of illegal logging and how can we deal with it? Some analysts have mentioned market failure as a main cause. Markets for illegally-logged timber are so widely available, even in environmentally-concerned regions, that the legal markets can hardly function alongside the illegal ones!

The international marketing problem is undeniable and apparently beyond government control. While expecting improvements in global markets, we should also focus on government failures in dealing with illegal logging.

Domestically, it is evident that illegal forestry activities are strongly linked with underdeveloped regulatory frameworks and lack of enforcement capacity by governmental agencies, compounded by corruption and collusion between illegal loggers and officials in forestry and state agencies.

It is difficult to isolate these factors as they are interdependent.

From a policy perspective, some current regulations are thought to have encouraged illegal logging. These includes poor taxation and levy systems for timber products and poor regulation of forestry concessions, including soft penalties for violations.

Others point to corruption and collusion involving forestry officials. Although this is hard to prove at both institutional and individual levels, few would deny that it happens.

Given the trend to decentralization, local governments have become more influential, including in the granting of logging permits. There have been strong pointers to corruption and collusion in respect of the granting of logging concessions.

Evidence shows that in many cases illegal forestry activities are supported by state officials, including forestry officials and police, as well as military personnel.

Not so long ago, some middle-level forestry and police officers in a timber rich region were brought to Jakarta allegedly for supporting illegal logging. One might argue that these reflected individual or personal actions, but there were also institutional failures to control individual actions.

Unfortunately, efforts to crack down on illegal logging are further hindered by poor law enforcement. The limited number of forest rangers the forestry ministry can deploy are not enabled to proceed on the illegal cases they have discovered. Experience show that in many illegal logging cases the alleged suspects have been left unnapprehended, untried and unpunished.

To control illegal logging at domestic level the government can take the option to improve forestry industry regulations. More importantly, the regulations should provide sanctions against violations. Illegal loggers and those working with them can ignore the law with impunity because it is not backed by convincing sanctions.

Since illegal logging involves international trade, the government should be actively engaged in bilateral and multilateral agreements within and across regions, involving both producer and consumer nations. This should include exchanges of information on timber production, consumption and trade and collaboration on law enforcement between police forces at international level.

To sum up, Indonesia clearly suffers from illegal logging. While circumstances in timber markets also contribute to encouraging illegal logging, to a large extent the underlying causes are linked to governmental failures.

Therefore, the government needs to make substantial efforts to deal with the problem. Options for positive strategies include reform of the national forestry policy framework as well as promoting intergovernmental agreements against illegal logging.

Friday 15 August 2008

Trafficking Kekayaan Hayati

Oleh: Ahmad Maryudi
Dimuat di Republika, 28 Mei 2008

Delegasi dari berbagai negara, organisasi, dan observer bertemu di Bonn, Jerman, dalam the Conference of the Parties of the Convention on Biological Diversity (COP-CBD IX) pada 19-30 Mei 2008. Salah satu tema penting yang dibahas adalah mengenai akses dan benefit-sharing pemanfaatan kekayaan hayati.
Isu yang berkembang adalah adanya tuduhan terhadap negara maju bahwa mereka telah menjarah kekayaan hayati negara lain untuk kegiatan komersial tanpa memberikan kontribusi yang nyata kepada sourcing countries. Tema ini menjadi terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja oleh negara kita.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati tertinggi di dunia. Menurut Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP), kekayaan hayati yang dimiliki negara kita hanya kalah dari Brasil. Lebih detail lagi, Indonesia merupakan satu dari 17 negara yang dikategorikan sebagai negara dengan megabiodiversitas dan dua dari hanya 25 hotspot dunia berada di negara kita.
Sangat disayangkan jika kekayaan hayati tersebut dimanfaatkan oleh negara lain dan tidak memberikan kemanfaatan bagi bangsa dan negara sendiri. Banyak bahan hayati yang mempunyai potensi dalam industri farmasi, kosmetik dan perawatan tubuh, makanan dan minuman maupun suplemen.
Saat ini banyak negara maju mulai mengincar bahan-bahan alam untuk bio-medicine sebagai pengganti obat sintetis. Sebagai ilustrasi, pernah dilaporkan bahwa hampir 50 persen dari obat kanker yang beredar berasal dari produk alami. Selain itu, dengan kemajuan bioteknologi, satu spesies tanaman bisa menyimpan berbagai ragam genetis yang mungkin punya potensi komersial yang luar biasa.
Bisa dibayangkan betapa besar potensi yang dipunyai negara kita jika megabiodiversitas yang ada kemudian diberi sentuhan bioteknologi. Hal ini bisa menarik minat negara lain (baca: negara maju) untuk memanfaatkannya.Negara kita tampaknya belum memberi perhatian yang serius terhadap manajemen perlindungan kekayaan hayati nasional. Sebagai contoh, IBSAP, yang bisa dianggap sebagai kitab suci manajemen pengelolaan kekayaan hayati, belum secara eksplisit mengatur bagaimana penggunaan maupun lalu lintas dari kekayaan hayati nasional.
Kita biasanya selalu terkaget-kaget jika negara lain ternyata telah memanfaatkan kekayaan bangsa. Seperti halnya kasus reog, batik, lagu Rasa Sayange, bahkan sampai kasus tahu dan tempe, mungkin nanti kita akan kebakaran jenggot jika inventaris data genetis berbagai spesies meranti Indonesia dan spesies lainnya, justru dimiliki oleh universitas/ negara asing dan dimanfaatkan untuk kepentingan komersial mereka sendiri.
Ada indikasi yang kuat bahwa penjarahan tersebut juga terjadi di Indonesia. Tampaknya kita masih cukup permisif terhadap negara lain baik yang terang-terangan maupun yang menggunakan cara yang lebih elegan untuk menjarah kekayaan hayati kita melalui kerja sama penelitian.Banyak sekali peneliti asing yang bekerja di negara kita yang berpotensi untuk ikut mengambil peran. Mungkin kita tidak pernah sepenuhnya tahu apa yang dilakukan para peneliti asing di negara kita.
Bukan berburuk sangka, tetapi juga bukan ide buruk jika kita menyiapkan perangkat untuk menangkal hidden agenda mereka. Sebenarnya pemerintah juga cukup waspada dengan hal ini.
Beberapa waktu yang lalu pemerintah mengeluarkan PP 41/2006, yang di antaranya mewajibkan penelitian oleh lembaga asing harus dijamin dan didampingi lembaga dan peneliti lokal. Sejauh pengamatan di lapangan, hal itu belum cukup efektif untuk meminimalkan pencurian kekayaan genetis negara kita.
Insentif untuk berkolaborasi dengan lembaga asing bisa melenakan kesadaran lembaga dan peneliti lokal. Selain itu, banyak sekali negara maju yang menawarkan berbagai beasiswa bagi putra-putra bangsa untuk melakukan riset mengenai keragaman hayati Indonesia di negara mereka.Kibasan ijazah doktor dan master yang ditawarkan tentunya sangat menggoda. Jika tidak disikapi secara hati-hati, hal ini justru berpotensi untuk pemanfaatan data oleh mereka. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memproteksi pencurian data melalui skema-skema yang elegan ini.Duta-duta bangsa ini harus bisa mengambil peran yang nyata dalam melindungi bangsa dan negara kita dari jarahan negara lain. Lembaran sertifikat dari perguruan tinggi asing seharusnya tidak membutakan mereka. Harus ada riset protokol dan memorandum of understanding yang jelas mengenai penggunaan data dan hasil.
Beberapa waktu yang lalu kita terkagum-kagum dengan keberhasilan Menkes Siti Fadilah Supari yang mempermalukan negara adidaya Amerika Serikat terkait dengan penggunaan data genetis flu burung. Semoga momentum Supari ini bisa memberikan ekstra energi bagi delegasi Indonesia dalam COP CBD IX untuk memperjuangkan benefit sharing yang fair antara negara asal dan negara pengguna. Kekayaan hayati yang kita miliki harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran bangsa sendiri, bukan orang atau negara lain.

Masalah dalam Implementasi Kehutanan

Oleh: Ahmad Maryudi
Dimuat di Jawapos, 17 Mei 2008

Peristiwa penembakan warga desa sekitar hutan di beberapa kabupaten di Jawa Timur oleh petugas keamanan hutan Perhutani menghiasi halaman media cetak dan elektronik nasional beberapa hari terakhir. Peristiwa ini menambah panjang daftar konflik berdarah antara masyarakat sekitar hutan dan Perhutani. Seperti dikutip banyak media, Syafruddin Ngulma Simeulue, salah satu anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), menyatakan dalam rentang sepuluh tahun terakhir, 32 orang meninggal dunia dan 69 luka-luka karena konflik di hutan Jawa. Jika ditarik ke belakang, tak terhitung kasus ancaman, penganiayaan, dan penembakan terjadi sejak Perhutani diberi mandat mengelola hutan Jawa.
Kasus penembakan yang baru terjadi itu akan menjadi amunisi baru bagi para pejuang kehutanan masyarakat dalam advokasi Forest for People, untuk ’mengembalikan’ hutan kepada rakyat; memosisikan mereka lebih dari sekadar objek penderita dalam pengelolaan hutan, mendorong agar mereka dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan hutan dan ikut mendapatkan manfaat pengelolaan.
Tidak dapat dimungkiri, pengelolaan hutan Jawa, salah satu pulau terpadat di dunia, memang tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa banyak masyarakat yang menggantungkan hidup pada hutan. Bahkan, sejak zaman kolonial Belanda pun, hal ini sudah berlangsung. Saat ini, ada 6.000-an desa sekitar hutan, umumnya merupakan kantong-kantong kemiskinan, dengan populasi lebih dari 30 juta.
Advokasi intensif yang dilakukan berhasil "memaksa" Perhutani meluncurkan berbagai program pelibatan masyarakat desa hutan dalam pengelolaan hutan, sampai termutakhir program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Dalam beberapa aspek, walaupun masih kasuistis, program-program kehutanan masyarakat tampaknya cukup menjanjikan, terutama untuk skema akses terhadap lahan. Sebab, ada sebagian masyarakat "lapar lahan", sampai dengan skema bagi hasil untuk hasil tebangan, yang di masa lalu hal ini bagaikan mimpi.
Namun, berbagai program kehutanan masyarakat yang ada masih meninggalkan banyak masalah. Pertama, ada kecenderungan, tidak hanya di Indonesia, bahwa program-program berlabel "kehutanan masyarakat" hanya ditawarkan untuk areal hutan yang telah rusak, dengan potensi hasil hutan yang sangat terbatas, yang bagi pengelola sendiri bisa dikatakan nothing to lose jika harus dikelola bersama masyarakat. Untuk hutan dengan potensi yang cukup tinggi, tampaknya masih "sayang untuk dilepaskan".
Dengan kata lain, program tersebut bisa dikatakan hanya untuk mendapatkan cheap, bahkan free labor, untuk merestorasi lahan hutan. Ada yang menyebut bahwa kehutanan masyarakat hanyalah sebuah management system of last resort, yang tidak genuine untuk kepentingan rakyat.
Kedua, walaupun ada berbagai argumen yang menyatakan bahwa masyarakat "telah diberi cukup akses" untuk memanfaatkan hutan, akses-akses tersebut sangatlah terbatas. Produk hasil hutan yang bernilai tinggi masih dinikmati Perhutani. Hal ini mungkin bisa dibantah Perhutani, yang mungkin berargumen bahwa masyarakat mendapatkan sharing dari keuntungan tebangan akhir.
Selama ini Perhutani selalu mempromosikan telah memberikan bagi hasil sekian ratus juta atau miliar rupiah kepada masyarakat sekitar hutan. Namun, argumen ini lemah jika dikonfrontasikan dengan kenyataan bahwa masyarakat tidak cukup tahu mengenai mekanisme penjualan kayu dan seberapa sebenarnya keuntungan yang didapatkan dari hasil tebangan. Bahkan, untuk produk hutan minor sekalipun, seperti kayu bakar, masyarakat sekitar hutan kian susah mengaksesnya. Kasus penembakan warga di atas adalah salah satu buktinya.
Selanjutnya, power asymmetry di antara stakeholder masih tampak dengan jelas. Dalam skala mikro, ada kecenderungan bahwa hanya sebagian kecil dari masyarakat (local elites) yang menikmati manfaat program-program kehutanan masyarakat. Hal yang cukup ironis, karena mereka biasanya mempunyai status politis dan ekonomi yang lebih baik dibanding para petani miskin, yang benar-benar menggantungkan hidup pada hutan. Jika tidak diperhatikan secara serius, hal ini bisa memberi peluang bagi local elite melakukan deal-deal tertentu dengan agen eksternal (termasuk Perhutani) demi memupuk keuntungan pribadi.
Kuatnya Perhutani
Dalam konteks yang lebih luas, tidak perlu disangsikan betapa masih kuatnya Perhutani dan pemerintah. Arogansi aparat masih nyata tecerminkan di berbagai lini manajemen dan kebijakan. Program kehutanan masyarakat secara teori memberi peluang bagi masyarakat untuk ikut terlibat dalam keseluruhan proses perencanaan dan manajemen hutan.

Sayang, hal ini belum terlihat nyata di lapangan. Tidak hanya Perhutani, pihak lain seperti donor maupun beberapa "LSM nakal" pun mempunyai pengaruh sangat besar dalam menentukan proses kehutanan. Berbagai ide yang diadopsi dalam praktik-praktik kehutanan masyarakat umumnya merupakan agenda-agenda donor (asing). Juga sebagian LSM, yang mengklaim dirinya merepresentasikan masyarakat, tanpa pernah diteliti akuntabilitasnya.
Masyarakat desa yang benar-benar berharap akan manfaat hutan, tetap dan selalu termarginalkan. Mereka tetap tidak akan berdaya di tengah hiruk-pikuk politik kehutanan masyarakat.

Addressing food crisis, maintaining biodiversity

By: Ahmad Maryudi
Published by: The Jakarta Post, 26 May 2008

The world is facing a global food crisis with food commodity prices creeping up. Many believe this is a short term crisis but continuing evidence of higher international prices for food crops such as grains indicates these may be long-term trends.

In Food Outlook released by the Food and Agriculture Organization (FAO) in November 2007, soaring food prices are described as "unusual" since they affect nearly all major food and feed commodities.
This growing crisis has become a powerful social and political issue. Just recently the prime minister of Haiti was forced to step down due the failure to keep soaring food prices under control. Even in some developed countries, for instance the United States, the UK and Germany, food prices have become " the big issue" aside from fuel prices.
Ecosystems and biodiversity provide the basic necessities of life, such as food, water and air, and offer protection from natural disasters and disease by regulating climate and preventing floods and pests. Biodiversity loss disrupts ecosystem functions, making ecosystems more vulnerable to shocks and disturbances, less resilient and less able to supply humans with what they need.
Conserving global biodiversity will maintain the essential life processes of the earth, and help meet essential human needs, maintaining an hospitable environment for human beings.
Agriculture having profound impacts on global biological diversity
In the '90s, the Indonesian government converted more than 1 million hectares in Kalimantan (supposedly mostly peat-swamps, but including productive forests) into agricultural land, with very adverse environmental consequences, while trying to promote rice self-sufficiency.

The project failed to create the planned paddy fields, but become one of the biggest environmental disasters in Indonesian history. It devastated the biophysical and hydrological features of the peatlands as well as changing the area micro climate.
Apart from this project disaster the Indonesian Forum for the Environment (Walhi) records other conversions of biologically rich wetlands into agricultural land. Yet, conversions of forestlands into monocultural plantations (most notably palm oil) are still ongoing. Current food shortages suggest that conversions might take place at an even greater pace with more incentives to boost food production.
The latest example is a government regulation (PP N0.1/ 2007), which promotes investment, which might potentially lead to increased forest conversion.
This line of argument does not necessarily mean that forests and forestry should be completely protected from food security priorities. For centuries, forests and forestry have provided livelihoods for people living in the areas surrounding them.
In the last few decades access to forestlands and the resources within them has often been restricted to forest zone residents with attention focused instead on commercial production from scientific industrial forestry. It has been widely acknowledged, even by Jack Westoby, one of the main supporters of this strategy, that this has failed to promote sustainability or to result in "trickle down" benefits to local communities.
In Indonesia one of the main features of forestry programs is to provide local communities with spaces within forestlands to cultivate agricultural crops alongside the main forestry species.
Community forestry programs have massive potential in fighting hunger and alleviating poverty, particularly for the people living within and around the forest and when applied genuinely to the benefit of the poor. State-owned forestry company, PT Perhutani, manages nearly 3 million hectares of state forests in Java with at least 600,000 potential allocated to growing agricultural crops.

The application of agroforestry systems in Java's forests, which are mostly monocultural, will probably not lead to biodiversity degradation. Instead, it will improve diversity of species and even enhance the integrity of the ecosystem.
In addition, especially forests in the Outer Islands remain a vast pool of non-timber forest assets, which can be potentially extracted as food and beverage products. Sago palm, cassava, wild fruits, edible leaves are only a few examples of edible non timber products, which are abundantly available in forests.
Massive conversion of forests into agricultural land should be avoided. Instead, an appropriate combination of agricultural land cropping alongside forest species through agroforestry techniques can be seen as the priority option.

Stagnasi Negosiasi Perubahan Iklim Global

Oleh: Ahmad Maryudi
Dimuat di Media Indonesia, 6 Agustus 2008


Pada pertemuan di Jepang belum lama ini, para pemimpin negara ekonomi terkemuka di dunia yang tergabung dalam G-8 bersepakat untuk mendukung upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (greenhouse gasses) sebesar 50% pada tahun 2050. Secara sepihak mereka menyatakan bahwa kesepakatan ini merupakan sebuah langkah penting dan strategis dalam kerangka perubahan iklim global (climate change). Sebaliknya, cukup alasan untuk berargumen bahwa kesepakatan tersebut merupakan sebuah langkah mundur dalam menghadapi malapetaka lingkungan dan kemanusiaan yang disebabkan oleh fenomena pemanasan global.


Stagnasi negosiasi
Hampir semua mafhum bahwa semenjak Protokol Kyoto diluncurkan, berbagai negosiasi internasional untuk climate change berjalan sangat lambat, kalau tidak dikatakan stagnan. Harapan sempat membuncah saat ratifikasi oleh Rusia, yang berarti bahwa syarat minimal bagi berlakunya Protokol Kyoto terpenuhi. Namun harapan terhadap negara maju untuk sungguh-sungguh berkomitmen menurunkan emisi karbonnya ternyata jauh dari angan-angan karena protokol tersebut bukanlah sebuah hard law. Padahal, kelompok negara G-8 ini merupakan kontributor utama emisi gas rumah kaca yang mencapai hampir 40% dari keseluruhan emisi dunia saat ini.

Berbagai negosiasi belumlah menyentuh akar permasalahan utama, yaitu tingginya emisi dari penggunaan bahan bakar fosil, utamanya untuk industri, transportasi, dan rumah tangga, yang mencapai sekitar 80% dari total emisi yang disebabkan oleh manusia (human-induced emissions).

Seperti yang telah dimandatkan dalam Protokol Kyoto, ada dua mekanisme penurunan konsentrasi karbon di atmosfer. Pertama adalah melalui upaya untuk menurunkan emisi global dan yang kedua melalui upaya mitigasi dengan meningkatkan kapasitas penyerapan karbon, seperti skema-skema reforestasi dan afforestasi. Namun fokus negosiasi lebih banyak dialihkan pada mekanisme kedua, padahal mekanisme pertama merupakan kunci utama dalam upaya memerangi climate change.

Demikian juga dengan negosiasi untuk penetapan target paruh kedua (Post-2012), yang dimulai semenjak Konferensi Bali 2007, kembali dialihkan dari inti permasalahan utama. Selain itu, target pengurangan emisi dari waktu ke waktu selalu diturunkan. Protokol Kyoto memandatkan pengurangan emisi bagi negara ekonomi maju (terdaftar dalam Annex I Protocol) secara kolektif sebesar 5% di bawah emisi tahun baseline (secara umum tahun 1990) sampai pada tahun 2012. Berdasarkan data inventory badan PBB untuk climate change, secara kolektif emisi negara Annex I pada tahun 2005 hanya sekitar 1,8% di bawah emisi tahun 1990.

Setelah target fase pertama sampai 2012 hampir dipastikan gagal dipenuhi, di Konferensi Bali, para negara setuju untuk mengurangi emisi sebesar 25%-40% sampai pada tahun 2020. Belum sampai Konferensi Bali berjalan setahun, G-8 kembali 'menawar' dengan mendorong target pengurangan emisi bisa dicapai pada tahun 2050. Sungguh menyedihkan memang.


Tekanan AS
Tidak perlu diragukan lagi, negara G-8 non-AS tidak mampu dalam menghadapi tekanan administrasi Bush. Padahal mereka, terutama yang berasal dari Eropa, cukup yakin terhadap target yang ditetapkan Protokol Kyoto maupun Bali Roadmap.

Argumen yang selalu dimunculkan adalah ada negara-negara kekuatan baru ekonomi dunia, terutama China dan India, yang saat ini juga termasuk negara emiter utama dunia. Namun, ada satu hal yang dilupakan bahwa negara majulah (G-8 dan yang lainnya), yang bertanggung jawab atas lebih dari 60% emisi masa lalu, dan hampir 40% dari emisi saat ini, yang akhirnya bisa mengantar mereka menjadi kekuatan ekonomi utama dunia.

Oleh karena itu, sembari mendorong negara kekuatan ekonomi baru tersebut untuk menunjukkan komitmennya, merekalah yang seharusnya berkewajiban mengurangi emisi secara nyata. Ini tidak bisa ditawar lagi. Jika tidak, berbagai negosiasi yang dilakukan tidak akan menghasilkan apa-apa, bahkan akan kembali memunculkan standoffs Utara-Selatan. Karena itu, ada harga yang sangat mahal yang harus dibayar oleh generasi mendatang.