Friday 15 August 2008

Stagnasi Negosiasi Perubahan Iklim Global

Oleh: Ahmad Maryudi
Dimuat di Media Indonesia, 6 Agustus 2008


Pada pertemuan di Jepang belum lama ini, para pemimpin negara ekonomi terkemuka di dunia yang tergabung dalam G-8 bersepakat untuk mendukung upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (greenhouse gasses) sebesar 50% pada tahun 2050. Secara sepihak mereka menyatakan bahwa kesepakatan ini merupakan sebuah langkah penting dan strategis dalam kerangka perubahan iklim global (climate change). Sebaliknya, cukup alasan untuk berargumen bahwa kesepakatan tersebut merupakan sebuah langkah mundur dalam menghadapi malapetaka lingkungan dan kemanusiaan yang disebabkan oleh fenomena pemanasan global.


Stagnasi negosiasi
Hampir semua mafhum bahwa semenjak Protokol Kyoto diluncurkan, berbagai negosiasi internasional untuk climate change berjalan sangat lambat, kalau tidak dikatakan stagnan. Harapan sempat membuncah saat ratifikasi oleh Rusia, yang berarti bahwa syarat minimal bagi berlakunya Protokol Kyoto terpenuhi. Namun harapan terhadap negara maju untuk sungguh-sungguh berkomitmen menurunkan emisi karbonnya ternyata jauh dari angan-angan karena protokol tersebut bukanlah sebuah hard law. Padahal, kelompok negara G-8 ini merupakan kontributor utama emisi gas rumah kaca yang mencapai hampir 40% dari keseluruhan emisi dunia saat ini.

Berbagai negosiasi belumlah menyentuh akar permasalahan utama, yaitu tingginya emisi dari penggunaan bahan bakar fosil, utamanya untuk industri, transportasi, dan rumah tangga, yang mencapai sekitar 80% dari total emisi yang disebabkan oleh manusia (human-induced emissions).

Seperti yang telah dimandatkan dalam Protokol Kyoto, ada dua mekanisme penurunan konsentrasi karbon di atmosfer. Pertama adalah melalui upaya untuk menurunkan emisi global dan yang kedua melalui upaya mitigasi dengan meningkatkan kapasitas penyerapan karbon, seperti skema-skema reforestasi dan afforestasi. Namun fokus negosiasi lebih banyak dialihkan pada mekanisme kedua, padahal mekanisme pertama merupakan kunci utama dalam upaya memerangi climate change.

Demikian juga dengan negosiasi untuk penetapan target paruh kedua (Post-2012), yang dimulai semenjak Konferensi Bali 2007, kembali dialihkan dari inti permasalahan utama. Selain itu, target pengurangan emisi dari waktu ke waktu selalu diturunkan. Protokol Kyoto memandatkan pengurangan emisi bagi negara ekonomi maju (terdaftar dalam Annex I Protocol) secara kolektif sebesar 5% di bawah emisi tahun baseline (secara umum tahun 1990) sampai pada tahun 2012. Berdasarkan data inventory badan PBB untuk climate change, secara kolektif emisi negara Annex I pada tahun 2005 hanya sekitar 1,8% di bawah emisi tahun 1990.

Setelah target fase pertama sampai 2012 hampir dipastikan gagal dipenuhi, di Konferensi Bali, para negara setuju untuk mengurangi emisi sebesar 25%-40% sampai pada tahun 2020. Belum sampai Konferensi Bali berjalan setahun, G-8 kembali 'menawar' dengan mendorong target pengurangan emisi bisa dicapai pada tahun 2050. Sungguh menyedihkan memang.


Tekanan AS
Tidak perlu diragukan lagi, negara G-8 non-AS tidak mampu dalam menghadapi tekanan administrasi Bush. Padahal mereka, terutama yang berasal dari Eropa, cukup yakin terhadap target yang ditetapkan Protokol Kyoto maupun Bali Roadmap.

Argumen yang selalu dimunculkan adalah ada negara-negara kekuatan baru ekonomi dunia, terutama China dan India, yang saat ini juga termasuk negara emiter utama dunia. Namun, ada satu hal yang dilupakan bahwa negara majulah (G-8 dan yang lainnya), yang bertanggung jawab atas lebih dari 60% emisi masa lalu, dan hampir 40% dari emisi saat ini, yang akhirnya bisa mengantar mereka menjadi kekuatan ekonomi utama dunia.

Oleh karena itu, sembari mendorong negara kekuatan ekonomi baru tersebut untuk menunjukkan komitmennya, merekalah yang seharusnya berkewajiban mengurangi emisi secara nyata. Ini tidak bisa ditawar lagi. Jika tidak, berbagai negosiasi yang dilakukan tidak akan menghasilkan apa-apa, bahkan akan kembali memunculkan standoffs Utara-Selatan. Karena itu, ada harga yang sangat mahal yang harus dibayar oleh generasi mendatang.

No comments: