Friday 12 September 2008

Kepedulian terhadap lingkungan masih parsial

Oleh: Ahmad Maryudi
Dimuat di Republika, 27 Agustus 2008

Kepedulian terhadap kerusakan lingkungan meningkat tajam pada tiga dekade terakhir telah memunculkan ‘histeria lingkungan‘. Penggunaan pestisida berbahaya, eksploitasi sumberdaya yang berlebihan, kerusakan hutan dan ozone, hujan asam, kepunahan species, perubahan iklim global, dan lain-lain, sudah menjadi menu bahasan sehari-hari, baik dalam kajian kajian ilmiah maupun perbincangan di warung kopi.

Mengingat multipel dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan, respon telah ditunjukkan beberapa elemen masyarakat, pemerintah dan bahkan kalangan bisnis. Societas modern telah menunjukkan beberapa aksi nyata, misalnya dengan boikot terhadap produk non-environmentally friendly dan dukungan terhadap partai yang mengusung green platforms. Berbagai media massa pun secara rutin mulai memberi ruang bagi isu lingkungan.

Dari sisi kebijakan, beberapa negara maju telah meluncurkan berbagai regulasi dan peraturan yang diyakini ‘ramah lingkungan‘. Kalangan bisnis pun tak mau ketinggalan. banyak perusahaan yang berlomba-lomba dalam menerapkan corporate environmental responsibility.

Sayangnya, ada beberapa kecenderungan yang menunjukkan bahwa kepedulian tersebut masih sangat parsial dan berorientasi lokal. Beberapa respon yang ada hanyalah dengan memindahkan masalah tersebut ke bagian dunia lain.

Contoh yang sering dimunculkan adalah dumping sampah dan berbagai bahan berbahaya ke negara lain. Demikian juga dengan ekspansi beberapa perusahaan multinasional yang memindahkan lokasi produksi ke negara dengan standar lingkungan yang relatif fleksibel.

Dalam hiruk pikuk politik climate change pun tidak ada bedanya. Untuk memenuhi target pengurangan emisi seperti yang dimandatkan Kyoto Protocol, beberapa negara menggalakkan penggunaan biofuel. Namun kebijakan ini tidak diimbangi produksi domestik yang memadai, sehingga mereka harus mengimpor dari negara lain. Hal ini tentunya akan menjadi insentif bagi negara lain untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka.

Sayangnya, ada skema-skema ekspansi produksi yang justru mendorong pelepasan karbon ke atmosfer, seperti dengan konversi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan sawit untuk produksi biofuel. Dan justru, skema ekspansi seperti ini yang nampaknya akan ditempuh oleh beberapa negara.

Sudah barang tentu respon-respon parsial seperti di atas kurang memberi pengaruh positif secara global, karena secara kumulatif bumi masih menanggung jejak ekologis (ecological footprints) yang sama. Perbedaan minor hanyalah pada dimensi ruang saja.

Nampaknya telah terjadi miskonsepsi pemahaman terhadap slogan “think globally, act locally”. Mungkin saja, kebijakan dan aksi lokal tersebut dimaksudkan untuk menjawab masalah global, namun ternyata belum benar-benar think globally, karena kenyataannya akan memberikan solusi lokal saja.

Oleh karena itu, harus ada perubahan mainstream dalam berbagai kebijakan dan aksi. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan global, solusi dan aksi lokal harus selalu berada dalam kerangka domain kepentingan global, yaitu dalam kerangka ‘satu bumi’.

Bentuk pengejawentahan sejati dari konsep “think globally, act locally” adalah perubahan gaya hidup masing-masing individu. Sulit untuk dipungkiri bahwa gaya hidup yang boros sumberdaya menimbulkan beban ekologis yang berlebihan pada bumi.

Daya dukung (carrying capacity) bumi ada batasnya. Mungkin saja ada yang berargumen bahwa kemajuan teknologi dapat mendorong efisiensi yang berimplikasi pada peningkatan daya dukung bumi. Walau demikian, sulit untuk berargumen bahwa bumi akan mampu memenuhi segala keinginan umat manusia, yang sepertinya tidak terbatas.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapa yang harus merubah gaya hidup. Dalam hal ini, harus ada distribusi beban lingkungan yang fair dan adil. Prinsip-prinsip egalitarian yang mengedepankan hitungan-hitungan percapita perlu terus didorong.

Dengan segala perbedaan distribusi sumberdaya dan perbedaan gaya hidup yang mencolok diantara berbagai belahan bumi, harapan harus digantungkan pada mereka yang menggunakan sumberdaya alam untuk kemewahan hidup (luxury). Akan menjadi sebuah skandal dan pengkhiatanan besar terhadap kemanusiaan, jika kita terus mengharapkan mereka menggunakan sumberdaya alam hanya sebatas untuk survival.

Penulis adalah mahasiswa doktoral di Goettingen University, Germany