Friday 15 August 2008

Masalah dalam Implementasi Kehutanan

Oleh: Ahmad Maryudi
Dimuat di Jawapos, 17 Mei 2008

Peristiwa penembakan warga desa sekitar hutan di beberapa kabupaten di Jawa Timur oleh petugas keamanan hutan Perhutani menghiasi halaman media cetak dan elektronik nasional beberapa hari terakhir. Peristiwa ini menambah panjang daftar konflik berdarah antara masyarakat sekitar hutan dan Perhutani. Seperti dikutip banyak media, Syafruddin Ngulma Simeulue, salah satu anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), menyatakan dalam rentang sepuluh tahun terakhir, 32 orang meninggal dunia dan 69 luka-luka karena konflik di hutan Jawa. Jika ditarik ke belakang, tak terhitung kasus ancaman, penganiayaan, dan penembakan terjadi sejak Perhutani diberi mandat mengelola hutan Jawa.
Kasus penembakan yang baru terjadi itu akan menjadi amunisi baru bagi para pejuang kehutanan masyarakat dalam advokasi Forest for People, untuk ’mengembalikan’ hutan kepada rakyat; memosisikan mereka lebih dari sekadar objek penderita dalam pengelolaan hutan, mendorong agar mereka dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan hutan dan ikut mendapatkan manfaat pengelolaan.
Tidak dapat dimungkiri, pengelolaan hutan Jawa, salah satu pulau terpadat di dunia, memang tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa banyak masyarakat yang menggantungkan hidup pada hutan. Bahkan, sejak zaman kolonial Belanda pun, hal ini sudah berlangsung. Saat ini, ada 6.000-an desa sekitar hutan, umumnya merupakan kantong-kantong kemiskinan, dengan populasi lebih dari 30 juta.
Advokasi intensif yang dilakukan berhasil "memaksa" Perhutani meluncurkan berbagai program pelibatan masyarakat desa hutan dalam pengelolaan hutan, sampai termutakhir program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Dalam beberapa aspek, walaupun masih kasuistis, program-program kehutanan masyarakat tampaknya cukup menjanjikan, terutama untuk skema akses terhadap lahan. Sebab, ada sebagian masyarakat "lapar lahan", sampai dengan skema bagi hasil untuk hasil tebangan, yang di masa lalu hal ini bagaikan mimpi.
Namun, berbagai program kehutanan masyarakat yang ada masih meninggalkan banyak masalah. Pertama, ada kecenderungan, tidak hanya di Indonesia, bahwa program-program berlabel "kehutanan masyarakat" hanya ditawarkan untuk areal hutan yang telah rusak, dengan potensi hasil hutan yang sangat terbatas, yang bagi pengelola sendiri bisa dikatakan nothing to lose jika harus dikelola bersama masyarakat. Untuk hutan dengan potensi yang cukup tinggi, tampaknya masih "sayang untuk dilepaskan".
Dengan kata lain, program tersebut bisa dikatakan hanya untuk mendapatkan cheap, bahkan free labor, untuk merestorasi lahan hutan. Ada yang menyebut bahwa kehutanan masyarakat hanyalah sebuah management system of last resort, yang tidak genuine untuk kepentingan rakyat.
Kedua, walaupun ada berbagai argumen yang menyatakan bahwa masyarakat "telah diberi cukup akses" untuk memanfaatkan hutan, akses-akses tersebut sangatlah terbatas. Produk hasil hutan yang bernilai tinggi masih dinikmati Perhutani. Hal ini mungkin bisa dibantah Perhutani, yang mungkin berargumen bahwa masyarakat mendapatkan sharing dari keuntungan tebangan akhir.
Selama ini Perhutani selalu mempromosikan telah memberikan bagi hasil sekian ratus juta atau miliar rupiah kepada masyarakat sekitar hutan. Namun, argumen ini lemah jika dikonfrontasikan dengan kenyataan bahwa masyarakat tidak cukup tahu mengenai mekanisme penjualan kayu dan seberapa sebenarnya keuntungan yang didapatkan dari hasil tebangan. Bahkan, untuk produk hutan minor sekalipun, seperti kayu bakar, masyarakat sekitar hutan kian susah mengaksesnya. Kasus penembakan warga di atas adalah salah satu buktinya.
Selanjutnya, power asymmetry di antara stakeholder masih tampak dengan jelas. Dalam skala mikro, ada kecenderungan bahwa hanya sebagian kecil dari masyarakat (local elites) yang menikmati manfaat program-program kehutanan masyarakat. Hal yang cukup ironis, karena mereka biasanya mempunyai status politis dan ekonomi yang lebih baik dibanding para petani miskin, yang benar-benar menggantungkan hidup pada hutan. Jika tidak diperhatikan secara serius, hal ini bisa memberi peluang bagi local elite melakukan deal-deal tertentu dengan agen eksternal (termasuk Perhutani) demi memupuk keuntungan pribadi.
Kuatnya Perhutani
Dalam konteks yang lebih luas, tidak perlu disangsikan betapa masih kuatnya Perhutani dan pemerintah. Arogansi aparat masih nyata tecerminkan di berbagai lini manajemen dan kebijakan. Program kehutanan masyarakat secara teori memberi peluang bagi masyarakat untuk ikut terlibat dalam keseluruhan proses perencanaan dan manajemen hutan.

Sayang, hal ini belum terlihat nyata di lapangan. Tidak hanya Perhutani, pihak lain seperti donor maupun beberapa "LSM nakal" pun mempunyai pengaruh sangat besar dalam menentukan proses kehutanan. Berbagai ide yang diadopsi dalam praktik-praktik kehutanan masyarakat umumnya merupakan agenda-agenda donor (asing). Juga sebagian LSM, yang mengklaim dirinya merepresentasikan masyarakat, tanpa pernah diteliti akuntabilitasnya.
Masyarakat desa yang benar-benar berharap akan manfaat hutan, tetap dan selalu termarginalkan. Mereka tetap tidak akan berdaya di tengah hiruk-pikuk politik kehutanan masyarakat.

No comments: