Monday 23 March 2009

Pemilu 2009 dan Siapa Peduli Lingkungan

Ahmad Maryudi, Detik 23.03.09

Pemilu 2009 sudah semakin dekat. Tirai masa kampanye resmi pun telah dibuka. Akan mencapai klimaksnya dalam beberapa hari mendatang. Para parpol dan calon legislatif (caleg) semakin intensif menawarkan berbagai visi dan janji untuk memikat hati pemilih.Walaupun ada puluhan partai dengan ribuan caleg nampaknya isu yang diangkat relatif seragam dan terfokus pada isu sosial dan ekonomi seperti: pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan lapangan kerja, mutu pendidikan, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Sedikit, bahkan bisa dibilang tidak ada, yang mempunyai visi kebijakan lingkungan.

Padahal permasalahan lingkungan juga menjadi salah satu masalah pelik bagi negeri ini. Kejadian banjir, longsor, illegal logging, kerusakan dan kebakaran hutan, kerusakan terumbu karang dan lain sebagainya sudah menjadi 'menu' kita sehari-hari. Implikasinya pun tidak sebatas aspek ekologis. Namun, sudah bisa dinilai secara finansial dan jumlahnya pun tidak kecil. Contoh kecil saja estimasi biaya untuk pengerukan endapan erosi waduk Gajah Mungkur untuk menanggulangi bencana banjir di luar jangkauan APBD Jawa Tengah. Partai HijauBeberapa waktu silam Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pernah mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah


Partai Hijau
Tidak sekedar warna bendera dan afiliasi religi mayoritas konstituennya. Partai ini menyatakan akan punya dedikasi dan perhatian pada isu lingkungan. Setelah deklarasi tersebut PKB pun secara sporadis menggelar berbagai 'peduli lingkungan'. Namun, tidak lama, spirit pro lingkungan tersebut seperti menguap entah ke mana.Sebelumnya, sekitar akhir 90-an, pun sayup-sayup sempat terdengar terbentuknya Partai Hijau. Namun, partai ini seperti hilang ditelan bumi.

Bagi mereka yang berharap akan ada perubahan positif dalam kebijakan lingkungan di negeri ini tentu sangat berlebihan jika berharap ada partai hijau seperti di beberapa negara maju. Mereka membangun real green platforms, serta secara konsisten tak kenal lelah menyuarakan 'kehijauannya'. Isu-isu kearifan ekologis terus diangkat. Tak terlalu peduli akan suara dan jumlah kursi yang akan diperoleh dalam parlemen.

Sebagai contoh di Jerman upaya Die Gruene (The Greens) untuk memperjuangkan environmental welfare sudah dimulai awal dekade 1970-an untuk menyuarakan isu polusi dan energi nuklir. Mereka baru 'menuai' hasil sekitar sepuluh tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1983. Partai ini untuk pertama kalinya masuk dalam parlemen (Bundestag) setelah mendapat suara di atas 5%, ambang batas minimal untuk bisa masuk parlemen. Belakangan dukungan untuk partai ini terus menurun.

Namun, itu tidak serta merta memudarkan 'warna hijau', karena doktrin dan platform partai telah terpatri kuat. Dengan sistem politik dan kepartaian saat ini tentu tidak ada satu partai pun di tanah air yang akan tetap bertahan jika gagal mendapatkan dukungan. Yang sering terjadi adalah mendirikan partai baru dengan cita rasa yang baru pula.Menjaring Konstituen BaruBisa dipahami keengganan untuk membangun partai berhaluan hijau di negeri ini. Kalkulasi politik apa pun tentu tidak merekomendasikan hal ini. Saat ini isu lingkungan semata belum cukup atraktif menarik minat pemilih.

Namun, sebenarnya parpol di tanah air bisa secara cerdas untuk mencoba sedikit berani keluar dari tema-tema kampanye 'konvensional' untuk menjaring konstituen baru tanpa harus meninggalkan visi dan kebijakan utama partai. Environmental niches sebenarnya pelan-pelan sudah mulai terbangun. Banyak civil society groups di tanah air yang bergerak dalam advokasi lingkungan. Untuk kalangan yang cukup environmentally concerned seperti ini sudah tentu isu lingkungan akan sangat mengena.

Untuk calon pemilih lain topik lingkungan bisa diintegrasikan dalam isu sosial ekonomi lain. Seperti pengelolaan sumber daya alam (misal hutan) yang lebih mengedepankan equity dan social justice. Isu seperti hutan kemasyarakatan tentu cukup atraktif bagi masyarakat desa hutan. Patut dicatat ada lebih puluhan ribu desa hutan di tanah air dengan puluhan juta rakyat yang hidupnya sangat tergantung pada eksistensi hutan. Sudah jelas bahwa sebenarnya isu lingkungan bisa dikelola sebagai additional comparative advantages sebuah partai, untuk menjaring calon pemilih di luar core constituents. Dan, sayangnya hal ini tidak dilirik oleh satu partai pun.

Mari kita cermati bersama. Apakah ada partai yang mempunyai visi dan janji politik yang pro lingkungan. Bagi yang mengharapkan perbaikan dalam pengelolaan lingkungan di tanah air mungkin hanya bisa berharap. Siapa pun nanti yang mendapatkan kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat bisa pelan-pelan perhatian yang lebih serius terhadap lingkungan. Tidak seperti yang terjadi di masa-masa silam. Salah satu penyebab hancurnya lingkungan adalah tiadanya komitmen politis yang memadai. Aspek lingkungan hanya menjadi prioritas ke sekian, di belakang tujuan-tujuan lain. Pada akhirnya, lingkunganlah yang akhirnya menjadi korban. Kebijakan lingkungan tidak harus selalu trade off (saling mengorbankan), dan bisa disinergikan dengan kebijakan sosial dan ekonomi.

2 comments:

Ika Baskoro said...

Nanti buat issue Calon Bupati Blora wae....

ahmad maryudi said...

ra payu...